someone like you

14 Mar 2012

MENYERUPUT KOPI DI WAJAH TAMPAN

Ia baru saja datang. Kopi saya sudah dingin sekarang. Seharusnya setengah jam yang lalu ia ada di sini. Saat minuman kesukaannya ini masih mendidih sepanas api. Biarlah. Ini tetap harus dilakukan. Dalam sekali sentak minuman ini pindah ke wajahnya yang tampan.
"Gigolo", begitu kata teman-teman. Kata yang pernah ibu ucapkan ketika bertengkar dengan bapak, sebagai laki-laki yang suka main perempuan. Saya sempat berpikir kalau semua laki-laki di dunia ini gigolo. Karena semua laki-laki pasti senang main perempuan. Setelah agak dewasa saya baru tahu kalau gigolo biasanya dibayar. Buat sisanya - Yang tidak mengeruk uang dari badan perempuan - saya temukan kata lain yang lebih brilian: bajingan. Kata ini saya dapat dari Mbak Kus, pembantu rumah tangga kami yang dihamili supir tetangga.
Lalu harus saya sebut apa laki-laki ini? Saya tidak tahu persis. Saya hanya tahu ada yang berubah dari wajahnya. Wajah yang biasanya benderang setiap matanya melemparkan tatapan. Mata yang biasanya menyimpan kesejukan setiap kali rindu dihati saya butuh untuk ditentramkan.
Sekarang mata itu mengerjap cepat. Kelopaknya bergerak hebat mengusir kopi yang terciprat. Sepasang tamu restoran yang duduk di sebelah kami melirik kaget. Lalu berbisik-bisik sambil sesekali melempar pandangan.
Saya seperti melihat ekspresi Mbak Kus di wajah tamu-tamu restoran itu. Nyinyir! Sedikit harap tersempil di dada, semoga saja sebentar lagi tamu-tamu di cafe ini akan duduk berurut menghadap utara mengurai rambut mereka dan mulai mencari kutu. Karena kepala mereka yang dipenuhi curiga pastilah akan jadi sarang yang nyaman untuk kutu kupret penghisap darah.
"Kamu sudah gila?!" bentaknya sambil memamerkan gigi merah yang dipenuhi darah kutu. Sebuah tamparan melayang di pipi saya. Tamparan Bapak. Saya hafal benar rasanya. Pedas dan panas. Membuat telinga berdenging sebentar lalu wajah terasa kebas. Di kulit pipi saya telah terukir sidik jari dan lelipit permukaan telapak tangannya. Karenanya tamparan seperti itu tidak lagi menyakitkan.
Ia terlihat bingung melihat saya bergeming tanpa hilang senyum.

.....................................................................................................................................................................

Waktu. Haruskah saya menyalahkan waktu? Mengapa saya tidak menyalahkan ia yang sedang berkhianat dan berubah laknat? Padahal sebelum piring keramik itu menghantam jidat apa yang dilakukannya pada saya adalah sebuah tindakan bejat. Karena, bagaimana ia mampu membuka ruang yang selama ini saya jaga rapat-rapat, dan menghuninya hanya sesaat, lalu dengan mudahnya ia minggat?
Sebenarnya banyak sudah pelajaran yang saya dapat. Dari Ibu. Dari Mbak Kus. Tapi seperti kata bapak. Saya memang bodoh.
Wajahnya terlihat gusar. Dahinya berkerut tanpa darah. Dia semakin mirip bapak. Semua kalimatnya terdengar sama:"Kamu bodoh". Kalimat yang paling pantas saya persembahkan untuk ibu. Ibu yang hanya bisa menumpahkan kemarahannya ke bapak yang jarang pulang dengan satu kata:"Gigolo". Ibu yang mengisi waktu dengan berbagai lelaki ketika bapak tidak dirumah. Ibu yang berakhir hamil seperti Mbak Kus. Ibu yang tidak pernah berhenti bertindak bodoh. Dan bapak yang tidak pernah berhenti berkata saya bodoh diatas kebodohannya menerima kebodohan ibu.
Seharusnya ada yang berteriak cut dan menghentikan adegan tolol ini. Tapi skenario ini terlalu rumit. Bahkan sang sutradara seolah kelimpungan menghadapi plot yang terbengkalai di depan matanya. Dan yang terjadi selama bertahun-tahun terus saja terjadi. Semua pelakon dalam sandiwara ini sibuk beradegan sendiri-sendiri. Sayangnya ini bukan film horor kampungan, dimana setiap peran satu-persatu dibunuh oleh sesosok arwah penasaran. Hingga lelah saya menunggu, Tak juga ada karakter yang mati dalam cerita ini. Ibu tetap hidup. Bayinya hidup. Mbak Kus hidup. Bapak tetap hidup. Hanya hati saya yang mati. Sampai akhirnya laki-laki ini datang dan menghidupkannya kembali.
Jangan salahkan saya jika mengharapkan akhir sempurna dari cerita ini. Saya tahu, kisah hidup selalu punya akhir terbuka seperti cerita fiksi. Namun dari semua akhir yang ada, tak bolehkah saya memilih satu yang berakhir bahagia?
Jika saya sutradara atau penulis cerita, akan saya ubah adegan-adegan bodoh ini. Akan saya kawinkan ibu dengan laki-laki yang bukan gigolo. Lalu akan saya jadikan dia perempuan alim yang tidak suka mengumbar kelamin. Akan saya bunuh bapak sebelum sempat menampar saya. Akan saya kembalikan Mbak Kus ke desa sebelum sempat mengandung benih dari seorang bajingan.
"Akan saya buat kamu cinta saya, seperti saya cinta kamu."

Wajah di depan saya bukan lelaki tampan yang saya cintai. Tapi hanya dialog itu yang ada di kepala saya. Hanya dialog itu yang saya punya. Dia mengangguk maklum. Kemudian menggeser sebuah nampan berisi wadah obat melewati besi putih yang membatasi ruangan sempit ini. cafe ini aneh sekali. seharusnya cafe tidak dibatasi jeruji besi.
"Ayo diminum". suaranya hangat penuh cinta.
Saya menunduk malu melihat sepatu putihnya yang bercahaya di lantai dansa. Saya menenggak butiran pil itu. Rasanya tidak pahit, hanya hampa. Membuat kepala dan dada saya seperti samudera tenang yang terbentang luas tanpa halangan. Pria berbaju putih itu tersenyum. Mengangguk dan melangkah pergi.

1 perempuan 14 laki-laki: 15

3 komentar:

  1. perasaan ini dari novel apa yaaa....pernah baca deh yang "gigolo" ntu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu dari kumpulan cerpen 1 perempuan 14 laki-lakinya djenar maesa ayu sayang....Judulnya juga sama kan :)

      Hapus
  2. itu dari kumpulan cerpen 1 perempuan 14 laki-lakinya djenar maesa ayu sayang....Judulnya juga sama kan :)

    BalasHapus